Pada satu weekend bulan lalu, saya mengajak anak dan suami untuk mencari sarapan di jalan depan rumah yang menjadi tempat selfie dan olahraga.
Dengan view jalan tol serta proyek kereta api cepat ternyata berhasil menarik minat orang-orang berdatangan ke sana.
Tenda-tenda warung makan serta aneka jualan menghiasi pinggiran jalan. Dari sayuran, makanan hingga sendal semuanya tersedia.
Siapa sangka, jalanan yang dulunya ditakuti dengan issue "makhluk halus hingga begal" kini menjadi lahan usaha.
Padahal dulu kondisi jalannya adalah rimbunan pohon bambu serta lahan untuk menanam umbi-umbian. Namun dengan kekuatan bulan adanya proyek kereta api cepat berubah menjadi jalanan beton.
Bisa temans bayangin begimana seramnya lingkungan rumah saya wkwkw..
Proyek Jalanan Tanpa Sosialisasi
Bila dirunut kebelakang, perihal jalanan baru itu sejujurnya banyak menimbulkan reaksi dari emosi hingga kerugian materil.
Rumah saya persis depan tanah yang kini menjadi jalanan beton. Awal proyek tersebut, emosi saya tersulut karena kendaraan berat dari buldozer, beko menghiasi pemandangan setiap harinya.
Jangan ditanya polusi suara yang ditimbulkan karena sangat terganggu. Dan yang bikin ngerinya adalah getaran yang ditimbulkan dari kendaraan-kendaraan tersebut membuat rumah saya seperti diguncang gempa bumi.
Kusen, kaca semua bergetar, setiap harinya kondisi seperti itu dimana anak-anak di rumah seringkali hubungi saya yang sedang di kantor ketakutan dengan getaran seperti itu.
Rasanya situasi rumah makin ga nyaman, saya juga ketakutan karena meninggalkan anak-anak di rumah dengan kondisi demikian.
Saat saya libur juga saya sering merasakan hingga puncaknya adalah siang itu kaca rumah tidak seperti biasa getarannya begitu kencang.
Saya keluar rumah, saya panggil pengurus proyeknya dan kebetulan ada mandornya. Saya mengatakan dengan marah jika saya keberatan adanya proyek ini.
Namun apa yang terjadi? si Mandor bilang "sudah dapat persetujuan dari semua warga sini"
Whattt???
Saya tidak pernah sekalipun memegang sebuah surat sosialisasi tentang pembuatan jalan hingga menyetujui proyek ini.
Menegur RT & Jajarannya
Emosi tak dapat dikendalikan, maka saya bergegas menghubungi RT setempat. Kurang lebihnya saya kecewa padahal saya adalah warga di sana namun tidak sekalipun diberikan surat sosialiasi hingga menyetujui proyek tersebut.
Tak segan saya berkata "DZOLIM" kepada pengurus RT-nya. Mereka ga mikir dengan kondisi tanah nanjak jika Buldozer, Beko gelinding kali pertama yang akan celaka adalah rumah saya.
Mereka juga ga mikirin, setiap getaran, retakan tembok yang dibuat tiap kali meratakan tanah tersebut membahayakan.
Dari WA saya tersebut akhirnya RIBUT hahahaha...
Pengurus RT ga terima dengan apa yang saya utarakan melalui WA, hasilnya suami saya dijemput pengurus diminta menghadap.
Saya jadi deg--deg--an juga saat suami main dijemput aja, memang yah kalau lagi emosi ga baik juga WA ke orang lain hasilnya jadi panas.
Tapi justru dengan pemicu ini akhirnya suami diajak diskusi, tadinya saya pengen ikut tapi tahulah emosi yang sedang meluap akan makin runyam.
Kesepakatan sore itu membuahkan hasil jika perkara ini akan sampe ke keluharan dan dinas. Sayangnya suami ga bisa ikut karena kerja.
Setelah bolak-balik rundingan dibuahkan hasil adanya KOMPENSASI.
Minim Kompensasi Tak Mendengar Aspirasi
Jika tidak diributkan maka *suudzon* saya kompensasi untuk warga tidak akan dibagikan. Nyatanya harus ada gerusuk dulu wajarlah yah jika kini DEMO makin menjadi wong pengurus-pengurusnya berasa tak terjadi apa-apa padahal yang begini nih yang harusnya difikirkan.
Maka setelah peristiwa ribut terjadi, saya lupa tepatnya apa2 minggu kemudian gitu yah. Tiba-tiba datang pengurus RT memberikan sebuah amplop bertuliskan nama suami disertai dengan form penerima.
Kebetulan saat itu saya sedang WFH, saya yang memang kurang bergaul jadi ga hafal dengan pengurus RT setempat.
Saya menanyakan perihal amplop tersebut konon jawabanya yang dilontarkan adalah sebuah kompensasi dari pembangunan jalan tersebut.
Saya lapor suami dan suami bilang ya diterima saja wkwkwk...suami cuma bilang "Biarlah nanti ada balasannya sudah makan hak orang lain".
Jika temans ketahui, kompensasi tersebut jujur ga sebanding dengan kerusakan yang saya alami, dari pagar rumah yang rusak, tembok retak hingga saat musim hujan tiba terjadilah BANJIR!
Entah bagaimana aristek yang bikinnya, air hujan dari jalan baru meluap semua ke depan rumah saya lalu membanjiri ke rumah warga yang di bawah. Posisi rumah saya berada di atas sehingga yang disisakan adalah tanah merahnya.
Maka tak heran buat teman kantor jika pagi hari kalau dimalam hari hujan maka ban mobil dan sepatu saya menyisakan tanah merah kering HAHA..
***
Saya dan suami juga sudah melaporkan ke Dinas xxx sayangnya seperti melapor ke drum kosong. Tak ada solusi, tak dengar aspirasi, kompensasi pun tak logis.
Ya sudah sekarang menikmati saja, meski banjir kerap kali terjadi dengan menyisakan tanah merah wess...biarkan saja..
Demikian temans curhat saya kali ini, ada yang bisa tebak berapa coba kompensasinya? :D
Thanks for your sharing:)
BalasHapusthanks Cmanda
HapusDuh Bun aku baca jadi ikutan sedih deh baca cerita ini. Tapi memang lebih baik dibahas dengan cara tatap muka. Semoga tak terjadi hal yang tak diinginkan lagi ya bun
BalasHapuskalau ga diusik sepertinya akan diam ummi..makanya kubilang dzolim
HapusWisssssss pengen masuk ke hell semua itu yang zholim! Esmosi juga saat bacanya!
BalasHapusKompensasi berapa mbak? Minimal 50-100 juta? Soalnya temenku dapatnya segitu
jutanya diganti ribu mba wkwkwk...makanya suamiku blg gpp nanti diakhiratnya aja
Hapus