Dalam KBBI, berambisi memiliki pengertian berkeinginan keras dalam mencapai sesuatu. Saya yakin semua orang pasti berambisi tidak mungkin tidak memiliki satu goals dalam hidupnya. Adakalanya dengan menetapkan goals itu bisa memotivasi diri untuk terus stabil dalam berusaha. Jika sudah kendor semangatnya maka cukup mengingat goals lantas kita mampu bangkit.
Namun yang saya ingin bahas kali ini adalah mereka yang berambisi tetapi akhirnya meresahkan dan memberikan tekanan kepada orang lain. Saya ga berani nyebut mereka berambisi negatif tetapi mungkin cara mereka yang salah dalam menyertakan orang lain untuk turut serta dalam mencapai goalnya.
Based on true sory maka saya coba untuk share disini, fenomenanya masih berbau dunia kerja bukan dunia lain atau dunia anak. Kenapa?jawabannya karena memang saya ada dalam lingkup dunia kerja terlebih kecemplung di "People" hehehe. Berbicara people maka ada saja yang berbeda karena teori yang selalu saya pelajari saat kuliah berulang kali menyebutkan jika individu itu unik.
Kisah pertama adalah suami saya, sebagai istri yangpaling baik dan mengerti paham kondisi suami apalah artinya jika skill saya tidak di aplikasikan untuk orang paling dekat. Ditempat kerja yang sebelumnya suami memang seperti kerja rodi, saya fikir memang tuntutan perusahaan maka dari itu cukuplah dukungan dan doa semoga suami mampu menjalaninya. Namun lama-lama ada yang berbeda dari suami. Saya mencoba mengobservasi dan saya dapatkan beberapa gejala yang suami saya tampilkan :
1. Terlihat murung di balik rasa capeknya
2. Begitu kusut
3. Emosinya tidak stabil
4. Fisiknya menjadi 5L
5. Rambut jadi gondrong (emang belum dicukur juga siy)
Setelah beberapa gejala yang saya amati, maka mulailah saya untuk mencoba masuk ke dalam permasalahannya. Butuh pendekatan khusus karena memang suami jarang ngomong untuk permasalahannya. Setelah saya korek-korek maklumlah di samping rasa kepo juga iba dengan keadaannya yang semakin kurus. Akhirnya keluarlah cerita yang membuat ia tak nyaman di kantornya.
Adalah atasannya yang ternyata memiliki visi yang berbeda dengan tuntutan dari manajemennya. Alhasil suami sebagai bawahannya bekerja 2x untuk memenuhi target manajemen maupun target dari ambisi atasannya. Ah ini dia biang penyakitnya, lantas saya memberikan solusi dari mulai planning&organize kerjaan suami agar berjalan sesuai harapannya namun sayang tidak mampu menyelesaikan masalahnya.
Akhirnya saya meminta suami untuk bisa mengkomunikasikan pembagian kerjanya. Hasilnya tetap sama. Dengan berat karena tentu saja masalah finansial, suami akhirnya memutuskan RESIGN. Saya ga bisa berbuat apa-apalagi karena yang paling merasakan ketidaknyamannya adalah suami maka suami yang akhirnya pergi dengan ketidaknyaman di kantornya. Itulah sebabnya saya pernah menuliskan tentang Saat Menjadi Pengangguran.
Kisah yang lainnya adalah baru kemarin saya menerima konsultasi gratis terkait pekerjaan bagi karyawan di kantor hahaha. Sebenarnya saya ga mumpuni tetapi ada saja yang ingin mencurahkankasih sayangnya permasalahannya kepada saya. Maka atas izin dari atasan, saya mencoba membantu untuk mencoba menggali permasalahnnya siapa tahu juga saya bisa memberikan solusi.
Staff perempuan masih muda, jika melihat kesehariannya tentu tidak akan menyangka ia memiliki beban berat pasalnya yang saya perhatikan ia orang yang pandai gaul, ceria dan seolah tidak terlihat masalah. Sesuai dengan hasil tesnya jika didepan orang ia akan tampil cerewet padahal sebenarnya dia adalah tipe yang begitu adem, manutan.
Masalahnya adalah ia dilema diminta resign oleh ibunya namun ia masih tetap ingin bekerja. Oke saya mencoba menggali terlebih dahulu asyal muasal kegalauannya. Skip...skip..skip ternyata biang penyakitnya adalah ibunya yang sangat berambisi agar si anaknya ini bisa kerja di a, b, c. Bahkan sampai akhirnya ia mengakui ia tidak pernah menyukai bidang yang saat ini ia geluti bahkan ia terpaksa kuliah ambil jurusan itu karena ibunya. Padahal ia memiliki passion yang jauh berbeda dengan yang saat ini ia tekuni. Mendengar hal tersebut saya berasa ketampar jangan sampai saya menjadi ibu yang terobsesi dan berambisi karena keinginan pribadi untuk mencetak anak yang sesuai keinginan saya.
Dari dua kisah tersebut saya coba untuk analisa, sebenarnya mereka yang memiliki ambisi tentu baik jika ambisinya tercapai. Namun sayangnya cara mereka salah tanpa pernah mengetahui keinginan dari orang lain yang mereka rasa mampu untuk penuhi ambisi mereka. Mereka bahkan tidak pernah tahu bagaimana tekanan dari ambisi yang ingin mereka penuhi memberikan dampak psikologis yang berat.
Dari tekanan yang bertubi-tubi akhirnya motivasi menurun jika sudah menurun maka tidak ada lagi hati untuk mengerjakan apapun yang pada akhirnya jika di tempat kerja bisa membuat perfoma menurun bahkan Resign menjadi solusi ampuh bagi mereka yang tertekan.
Bagi mereka yang punya ambisi sangat kuat sebenarnya baik karena hidup tanpa ambisi seperti sepeda tanpa rem mengalir begitu saja. Namun ambisi yang terlalu kuat seperti atasan suami dan juga ibunya staff itu menurut saya menjadikan mereka orang egois. Karena mereka lebih memusatkan perhatian pada tujuannya tanpa memikirkan kebutuhan orang lain.
Cukup banyak orangtua yang terobsesi dengan ambisinya sehingga tidak mampu melihat potensi, keinginan juga passion anaknya sendiri. Ah saya tak mau menjadikan anak saya boneka untuk mencapai ambisi saya yang tertunda atau tak pernah bisa capai sewaktu dulu.
Mengapa harus berambisi?karena hidup harus punya rencana untuk mencapai setiap anak tangga sebelum menapaki puncaknya. Namun ambisinya tidak perlu begitu kuat sehingga tanpa sadar mampu menyakiti orang terdekat kita. Tak perlu menghalalkan berbagai cara hanya untuk terlihat sukses dengan ambisi yang kuat. Ketika keinginan kuat tidak tercapai tanpa dibarengi dengan kemampuan menerima maka yang terjadi adalah Stress. Tidak hanya diri sendiri tetapi juga dengan orang lain yang turut serta terseret dalam ambisi tersebut.
Demikian ulasan saya, semoga bisa diambil hikmahnya. Kita bisa selalu menikmati setiap proses dalam rencana yang sudah kita siapkan tanpa harus membebani orang lain. Menjadi sukses bukan dengan memanfaatkan orang lain saja tetapi bersama-sama saling mendukung mencapai keberhasilan.
Kisah pertama adalah suami saya, sebagai istri yang
1. Terlihat murung di balik rasa capeknya
2. Begitu kusut
3. Emosinya tidak stabil
4. Fisiknya menjadi 5L
5. Rambut jadi gondrong (emang belum dicukur juga siy)
Setelah beberapa gejala yang saya amati, maka mulailah saya untuk mencoba masuk ke dalam permasalahannya. Butuh pendekatan khusus karena memang suami jarang ngomong untuk permasalahannya. Setelah saya korek-korek maklumlah di samping rasa kepo juga iba dengan keadaannya yang semakin kurus. Akhirnya keluarlah cerita yang membuat ia tak nyaman di kantornya.
Adalah atasannya yang ternyata memiliki visi yang berbeda dengan tuntutan dari manajemennya. Alhasil suami sebagai bawahannya bekerja 2x untuk memenuhi target manajemen maupun target dari ambisi atasannya. Ah ini dia biang penyakitnya, lantas saya memberikan solusi dari mulai planning&organize kerjaan suami agar berjalan sesuai harapannya namun sayang tidak mampu menyelesaikan masalahnya.
Akhirnya saya meminta suami untuk bisa mengkomunikasikan pembagian kerjanya. Hasilnya tetap sama. Dengan berat karena tentu saja masalah finansial, suami akhirnya memutuskan RESIGN. Saya ga bisa berbuat apa-apalagi karena yang paling merasakan ketidaknyamannya adalah suami maka suami yang akhirnya pergi dengan ketidaknyaman di kantornya. Itulah sebabnya saya pernah menuliskan tentang Saat Menjadi Pengangguran.
Kisah yang lainnya adalah baru kemarin saya menerima konsultasi gratis terkait pekerjaan bagi karyawan di kantor hahaha. Sebenarnya saya ga mumpuni tetapi ada saja yang ingin mencurahkan
Staff perempuan masih muda, jika melihat kesehariannya tentu tidak akan menyangka ia memiliki beban berat pasalnya yang saya perhatikan ia orang yang pandai gaul, ceria dan seolah tidak terlihat masalah. Sesuai dengan hasil tesnya jika didepan orang ia akan tampil cerewet padahal sebenarnya dia adalah tipe yang begitu adem, manutan.
Masalahnya adalah ia dilema diminta resign oleh ibunya namun ia masih tetap ingin bekerja. Oke saya mencoba menggali terlebih dahulu asyal muasal kegalauannya. Skip...skip..skip ternyata biang penyakitnya adalah ibunya yang sangat berambisi agar si anaknya ini bisa kerja di a, b, c. Bahkan sampai akhirnya ia mengakui ia tidak pernah menyukai bidang yang saat ini ia geluti bahkan ia terpaksa kuliah ambil jurusan itu karena ibunya. Padahal ia memiliki passion yang jauh berbeda dengan yang saat ini ia tekuni. Mendengar hal tersebut saya berasa ketampar jangan sampai saya menjadi ibu yang terobsesi dan berambisi karena keinginan pribadi untuk mencetak anak yang sesuai keinginan saya.
Dari dua kisah tersebut saya coba untuk analisa, sebenarnya mereka yang memiliki ambisi tentu baik jika ambisinya tercapai. Namun sayangnya cara mereka salah tanpa pernah mengetahui keinginan dari orang lain yang mereka rasa mampu untuk penuhi ambisi mereka. Mereka bahkan tidak pernah tahu bagaimana tekanan dari ambisi yang ingin mereka penuhi memberikan dampak psikologis yang berat.
Dari tekanan yang bertubi-tubi akhirnya motivasi menurun jika sudah menurun maka tidak ada lagi hati untuk mengerjakan apapun yang pada akhirnya jika di tempat kerja bisa membuat perfoma menurun bahkan Resign menjadi solusi ampuh bagi mereka yang tertekan.
Bagi mereka yang punya ambisi sangat kuat sebenarnya baik karena hidup tanpa ambisi seperti sepeda tanpa rem mengalir begitu saja. Namun ambisi yang terlalu kuat seperti atasan suami dan juga ibunya staff itu menurut saya menjadikan mereka orang egois. Karena mereka lebih memusatkan perhatian pada tujuannya tanpa memikirkan kebutuhan orang lain.
Cukup banyak orangtua yang terobsesi dengan ambisinya sehingga tidak mampu melihat potensi, keinginan juga passion anaknya sendiri. Ah saya tak mau menjadikan anak saya boneka untuk mencapai ambisi saya yang tertunda atau tak pernah bisa capai sewaktu dulu.
Mengapa harus berambisi?karena hidup harus punya rencana untuk mencapai setiap anak tangga sebelum menapaki puncaknya. Namun ambisinya tidak perlu begitu kuat sehingga tanpa sadar mampu menyakiti orang terdekat kita. Tak perlu menghalalkan berbagai cara hanya untuk terlihat sukses dengan ambisi yang kuat. Ketika keinginan kuat tidak tercapai tanpa dibarengi dengan kemampuan menerima maka yang terjadi adalah Stress. Tidak hanya diri sendiri tetapi juga dengan orang lain yang turut serta terseret dalam ambisi tersebut.
Demikian ulasan saya, semoga bisa diambil hikmahnya. Kita bisa selalu menikmati setiap proses dalam rencana yang sudah kita siapkan tanpa harus membebani orang lain. Menjadi sukses bukan dengan memanfaatkan orang lain saja tetapi bersama-sama saling mendukung mencapai keberhasilan.
gambarnya dari http://katamotivasionline.blogspot.co.id |